RESENSI - REASONS TO STAY ALIVE - KISAH NYATA MELAWAN DEPRESI
- RESENSI INI TERBIT DI KORAN JAKARTA PADA 03 OKTOBER 2018 -
gramedia.com |
Apa rasanya menjadi orang yang mengalami gangguan kecemasan atau depresi? Ada dorongan yang membanjiri perasaan dan pikiran mereka sampai-sampai tubuh fisiknya pun ikut sakit. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang akhirnya memutuskan bunuh diri. Dan buku ini, hampir tidak mungkin ada, karena tiga belas tahun yang lalu, saat Matt Haig, sang penulis berusia 24 tahun, dia memutuskan untuk bunuh diri dengan cara melompat ke jurang. Namun, ketika selangkah lagi melakukannya, Matt mengingat kedua orang tuanya dan Andrea, pacarnya.
Depresi dapat dialami
oleh semua orang dan depresi ada karena perasaan cemas yang berlebihan dan
tidak melihat adanya harapan. Atau masa depan. Depresi membuat seseorang merasa
sendirian dan merasa tidak ada seorang pun yang memahami apa yang ada di dalam
kepala. Bahkan, Matt menuliskan bahwa jika seseorang dapat melihat isi
kepalanya, maka seseorang itu akan mengatakan : yasudah, lebih baik kau mati
saja.
Buku ini terdiri dari 5
bagian, yaitu : jatuh, mendarat, bangkit, menjalani hidup dan menjadi bagian
dari kehidupan. Matt menuliskan runut dan tidak malu akan apa yang dia pernah
alami. Darimana depresi itu berasal, gejala-gejala, saat sedang mengalami
serangan panik, ke tahap penyembuhan, sampai pada menyelami diri sendiri untuk
menjadi lebih baik.
Dalam bukunya, Matt
menjelaskan bahwa orang yang depresi bisa melakukan hal-hal yang sesuai
dirinya, untuk membantunya sembuh. Matt suka membaca dan menulis, jadi ia
banyak membaca buku dan mulai menulis. “Bagi saya, buku-buku adalah alasan
untuk tetap hidup. Setiap buku yang ditulis adalah produk benak manusia pada
keadaan tertentu. Setiap membaca buku yang bagus, saya merasa bagai membaca
peta harta karun, dan harta yang dimaksud adalah diri saya sendiri”. (Hal. 140)
Ada beberapa orang yang
merasa berbicara membuatnya lebih baik, tentu setiap cara selalu berbeda-beda.
Semua itu dapat ditemukan setelah eksplorasi ke dalam diri orang yang depresi.
Tugas pendamping adalah menemani dalam proses itu. Pendamping harus selalu
mendengarkan dan menyadari bahwa diri kita dibutuhkan dan dihargai. Matt punya
Andrea dalam proses penyembuhannya. “Saya sangat mencintai Andrea, cinta yang
penuh persahabatan dan cinta yang benar-benar cinta. Philia dan Eros. Saya
selalu mencintainya. Ketika depresi menghantam saya, Andrea ada untuk saya.
Andrea tetap bersikap baik dan marah dengan
cara-cara yang tepat”. (Hal. 128)
Setiap manusia harus
menyadari bahwa depresi selalu lebih kecil dari diri kita sendiri, walaupun
selalu terlihat besar. Depresi beroperasi dalam diri, bukan sebaliknya. Dan
depresi hanyalah awan gelap yang melintasi langit, tapi kita-lah langitnya
(Hal. 183). Cara untuk tetap bertahan hidup menurut Matt Haig adalah
mempersamakan logika dan perasaan, itu intinya. Beberapa orang selalu
menomorsatukan pentingnya pikiran, padahal perasaan sama pentingnya. “Karena
kita disini untuk merasakan segala sesuatu. Saya menginginkan kehidupan. Saya
ingin membacanya, menuliskannya, merasakannya , dan menjalaninya” (Hal. 233).
Lalu, bagaimana agar
manusia sedikit bahagia? Jawaban Schopenhauer yang ditulis Matt adalah : Kalau
masalahnya adalah menginginkan banyak hal, solusinya adalah merelakan banyak
hal. Dalam Buddhisme, untuk bisa bahagia dan memperoleh kedamaian, kita harus
siaga dan penuh kesadaran diri. Menyadari setiap momen. (Hal. 238)
Matt takut terhadap
depresi, tapi pada saat yang sama, depresi sudah menjadikan dirinya seperti
sekarang ini, dan kalau itu memang harga yang harus dibayar, Matt merasa harga
ini sepadan. Matt adalah bukti bahwa gangguan kecemasan dan depresi bisa
diatasi. Melalui buku ini, Matt mengajarkan banyak hal untuk membantu diri kita
sendiri dalam menjadi lebih baik.
Buku :
Reasons to Stay Alive – Kisah Nyata Melawan Depresi dan Berdamai dengan Diri
Sendiri
Penulis :
Matt Haig
Editor :
Miranda Malonka
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tebal :
266 halaman
Cetakan :
I, 2018
ISBN :
978-602-03-8660-7
Peresensi : Vanda Deosar
Comments
Post a Comment