Resensi - Pingkan Melipat Jarak
Blurb :
Selalu
ada saat ketika tidak sempat bertanya kepada sepasang kaki sendiri kenapa tidak
mau berhenti sejak mengawali pengembaraan agar kita bisa memandang sekeliling
dan bertahan semampu kita untuk tidak melepaskan air mata menjelma sungai
tempat berlayar tukang perahu yang mungkin saja bisa memberi tahu kita, Ke
sana, Saudara, ke sana.
Selalu
ada kapal yang mendadak bergoyang bahkan ketika tidak ada sama sekali angin di
samudra bahkan ketika tidak ada pun yang terasa bergerak kecuali dua ekor camar
yang sudah terbang terlalu jauh ke samudra dan merasa sangat letih tetapi kita
tidak melihat apapun yang bisa dihinggapinya kecuali sebuah bahtera yang
bergoyang keras ke sana kemari terlempar ke atas menghunjam kembali ke
permukaan menciptakan percik-percik air dan melempar-lemparkan
gumpalan-gumpalan air sehingga tidak mungkin dihinggapi tiang layarnya walau
hanya sejenak. Walau demi dua ekor camar sangat letih yang terus menerus
terbang agar tetap bisa memelihara kasih sayang. Walau hanya sejenak.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pingkan melipat jarak
merupakan buku kedua dari Trilogi “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko
Damono. Masih bercerita tentang sepasang insan manusia bernama Sarwono dan
Pingkan yang setelah di buku pertamanya terpisah oleh jarak, sekarang diuji
dengan sakitnya Sarwono dan kehadiran Katsuo, pemuda Jepang yang menaruh
perasaan pada Pingkan.
Pingkan melipat jarak lebih
memfokuskan kepada Pingkan dan perasaannya serta Katsuo dan pengabdian kepada
ibunya. Pingkan yang seolah-olah mantap tetap mencintai Sarwono dan Katsuo yang
mencintai Pingkan namun tak dapat ditunjukan karena ada gadis di kampungnya
yang menunggu untuk dinikahi dan orang tua yang jelas-jelas menolak jika Katsuo
membicarakan Pingkan.
Katsuo, Bu Pelenkahu, Cicak
dan Sarwono. Pingkan lebih memilih cicak dan tentu saja Sarwono, karena Sarwono
pasti mendengar cicak. Bu Pelenkahu memberi isyarat bahwa Pingkan agak
terganggu jiwanya, dan Toar, kakak Pingkan memutuskan untuk masuk ke dalam
kubangan yang diciptakan oleh cinta atau kasih sayang atau apalah namanya
antara kedua orang muda itu.
Kisah masa lalu saat Pingkan
bersama Sarwono pun banyak ditunjukan dan antara Pingkan serta Katsuo yang
ternyata tidak seperti apa yang ditampakan, ada beberapa pernyataan dalam batin
Pingkan bahwa ia tahu bahwa Katsuo mencintainya dan ia tahu bahwa Sarwono
mencurigainya selama ini. Dan ia pernah berpikir, seandainya ia tidak pernah
bertemu Sarwono, mungkin... Kalimat yang tidak pernah bisa diselesaikannya,
tidak pernah ada keinginan untuk melengkapinya. Ia beriman pada takdir, yang
tidak mengenal seandainya. (Hal. 13)
Dalam buku kedua, Sapardi
Djoko Damono seperti mengajak kita dalam berbagai labirin imajinasi, monolog
batin yang lebih kental dan berujung pada berbagai penafsiran. Alih-alih
menjawab pertanyaan, buku kedua malah semakin memperbanyak pertanyaan. Adat,
kepercayaan, musik, mitos, berbagai kutipan film menjadi referensi dalam
Pingkan “melipat” jaraknya.
Dan akhirnya semua tidak
sekedar “hanya” terutama kalau akhirnya berkembang menjadi rangkaian peristiwa
yang bisa diterima sebagai petunjuk bahwa nasib sebenarnya ada di tangan
manusia, dan pengandaian merupakan bagian yang bisa saja menjadi semacam
pembenaran atas apa yang terjadi. Yang harus terjadi. Yang sudah terjadi. Bahkan
yang akan terjadi. Seandainya Pingkan dipisahkan saja dari Sarwono, apa yang
bisa terjadi, apa yang akan terjadi, atau apa yang terjadi? Sesuatu tentu akan
terjadi. Atas siapa? Pingkan? Sarwono? Dimana Katsuo harus ditempatkan dalam
pengandaian serupa itu? (Hal. 111)
Jika ingin membaca sebuah
novel sastra yang ringan dan menghibur, trilogi ini sangat direkomendasikan. Sapardi
mengajarkan bahwa cinta bukan hanya sekedar perasaan, tetapi cinta mempunyai
bentuk dan dimensinya sendiri.
Judul : Pingkan Melipat Jarak
Penulis :
Sapardi Djoko Damono
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan :
Kedua, April 2017
Harga :
Rp. 60.000,-
Halaman :
119 halaman
Peresensi :
Vanda Deosar
Comments
Post a Comment