Resensi - The Cuckoo’s Calling : Dekut Burung Kukuk



Judul                  : Dekut Burung Kukuk
Pengarang          : Robert Galbraith
Penerjemah        : Siska Yuanita
Penerbit             : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan             : Kedua – Februari 2014
Jumlah Halaman: 520 Halaman – 23 cm

Ketika seorang supermodel jatuh dari ketinggian balkon di London yang bersalju, polisi menetapkan bahwa ini kasus bunuh diri. Namun, kakak korban meragukan keputusan itu, dan menghubungi sang detektif partikelir, Cormoran Strike, untuk menyelidikinya.

Strike seorang veteran perang yang memiliki luka fisik dan luka batin. Hidupnya sedang kisruh. Kasus ini memberinya kelonggaran dalam hal keungan, tapi menuntut imnalan pribadi yang mahal : semakin jauh dia terbenam dalam kasus ini, semakin kelam kenyataan yang ditemuinya – dan semakin besar bahaya yang mengancam nyawanya.

Pertama kali mendengar novel ini akan diterbitkan, saya cuek saja, karena saya tidak mengenal siapa itu Robert Galbraith. Sampai ketika sedang stalking J.K. Rowling, saya kaget “kok ini kayak novel yang kemarin gue lihat ya? Apa mereka temenan?” semakin dalam mencari tahu, akhirnya kebenaran terungkap ternyata Robert Galbraith hanyalah nama lain dari J.K. Rowling. Hufht, saya jadi menyesal baru paham, untung saja saya niat stalking saat itu. Novel ini semakin keren karena akhirnya akan diterjemahkan oleh penerbit sekelas Gramedia, so pasti tak ada lagi keraguan dalam membawa pulang novel Rowling yang baru.

Buang jauh-jauh anak berkacamata dengan sambaran petir di dahi yang berpetualang melawan The Dark Lord itu, karena novel ini jauh lebih kelam, mencekam, berdarah dan menurut saya, seharusnya masuk kategori dewasa. Sesuatu yang baru dan segar dalam dunia criminal diperkenalkan Galbraith lewat detektif andalannya, Cormoran Strike.

Bercerita tentang sepak terjang Detektif Partikelir, Cormoran Strike yang harus berjuang hidup setelah pisah dengan tunangannya, menghadapi kasus, yang seluruh orang beranggapan bahwa itu hanya kasus bunuh diri dan bukan pembunuhan. Seperti Detektif lainnya yang membutuhkan partner, Galbraith menciptakan Robin Ellacott, pekerja temporer yang sangat semangat akan petualangan dalam dunia kriminal.

Menghadapi kasus pembunuhan seorang artis muda yang “nakal”, diberitakan bunuh diri dengan lompat dari balkonnya, Cormoran dengan bantuan Robin, memulai penyelidikannya, dengan perlahan-lahan, Galbraith membuat kita duduk manis dan bersabar untuk mengetahui siapa pembunuh sebenarnya. Sama dengan Cormoran, mengutas benang demi benang, berjalan kesana kemari menanyai segelintir orang untuk mendapatkan informasi, mencatat apa saja yang diperlukan demi mengungkap kebenaran. Diselingi dengan kisah emosional kehidupan Cormoran baik percintaan maupun hubungan dengan keluarganya, Galbraith dengan apik mengupas satu demi satu, namun dengan porsi yang menurut saya pas. Di sisi lain, Robin, yang seperti Watson dalam Sherlock Holmes, mewakili kita semua, para pembaca yang awam akan dunia investigasi. Tetapi semakin mendekati akhir, Robin menunjukan bahwa dia bukan hanya seorang sekretaris, dia juga punya keahlian dan banyak membantu.

Lantas, siapakah pembunuh model cantik Lula Landry? Akankah ini menjadi kehancuran atau justru kebangkitan bagi nama Cormoran Strike sebagai detektif partikelir? Ya, semua itu akan terjawab di akhir cerita. Dengan plot yang runtut, serta pemaparan akan detail kota London yang seolah-olah membuat kita juga sedang berjalan disana dan membantu Cormoran, menjadikan novel ini sangat direkomendasikan untuk dibaca. Terakhir, kita hanya butuh segelas butterbeer untuk bersama-sama terjun ke dunia Cormoran dipandu oleh JK. Rowling – ups, maksud saya Robert Galbraith ;)


Rating 4/5

Comments

Popular Posts