Resensi - The Silkworm : Ulat Sutra
Judul :
The Silkworm : Ulat Sutra
Pengarang :
Robert Galbraith
Penerjemah :
Siska Yuanita
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Kesatu - 2014
Jumlah Halaman : 536 Halaman
Akhirnya, setelah rehat dari kekaguman saya akan The Cuckoo’s
Calling, Robert Galbraith seperti tidak membiarkan kita semua terlalu lama
merindu dengan detektif kesayangannya, Cormoran Strike dan sekretaris cantik
Robin dengan aksi baru yang lebih mencekam dari sebelumnya.
Seorang novelis
bernama Owen Quine menghilang. Sang istri mengira suaminya hanya pergi tanpa
pamit selama beberapa hari, seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya, lalu
meminta Cormoran Strike untuk menemukan dan membawanya pulang. Namun,
ketika Strike memulai penyelidikan, dia mendapati bahwa menghilangnya Quine
tidak sesederhana yang disangka istrinya. Novelis itu baru saja menyelesaikan
naskah yang menjelek-jelekkan nyaris semua orang yang dia kenal. Jika novel ini
diterbitkan, akan banyak reputasi hancur yang artinya ada banyak orang yang
ingin Quine dilenyapkan. Kemudian mayat Quine ditemukan dalam kondisi
ganjil dengan bukti-bukti telah dibunuh secara brutal. Kali ini Strike
berhadapan dengan seorang pembunuh keji, jenis yang belum pernah dijumpainya.
Investigasi dimulai, bersama Robin, Strike menyusuri jalanan
London yang diguyur hujan lebat dan menyusuri lorong-lorong yang gelap, sampai akhirnya
berfokus kepada beberapa tersangka yaitu ister Owen sendiri, Leonara, Elizabeth
Tassel, agen penerbit sampai ke kekasih Owen, Kathryn Kent.
Sekali lagi, dari awal bab-bab, beda dengan pendahulunya,
yang terlalu banyak menjelaskan. Kali ini Robert Galbraith justru semakin
pintar dalam memainkan emosi pembaca dengan terus menceritakan masa lalu
Cormoran lebih jauh, yang membuatnya menjadi detektif seperti sekarang. Berbeda
dengan detektif kebanyakan yang kaya, tampan atau bertubuh bidang. Pembaca justru
dibuat jatuh cinta dengan detektif bertubuh besar dengan satu kaki serta rambut
yang berantakan. Robin, semakin dibuat matang dalam pikirannya dan berperan
besar dalam membantu Cormoran sampai akhir.
Bukunya, tentu saja tebal dan lebih mahal dari sebelumnya,
tetapi menurut saya itu sebanding dengan cerita yang diberikan oleh Galbraith. Awalnya
saya takut bosan dan berpikir akan membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk
membaca seri kedua ini, ternyata dugaan saya salah. Kasus kali ini sungguh
menyita perhatian dan setiap lembar yang terbaca justru malah membuat kita semua
semakin masuk ke dalam dan merasa ikut kedinginan di kala Cormoran berjalan di
pagi buta yang sedingin es dan kesakitan di kala kaki palsunya menuntut
perhatian lebih. Rincinya penjelasan mengenai kota-kota di London dan
tempat-tempat yang didatangi oleh Cormoran sangat membantu para pembaca.
Bukan berlebihan jika dibilang Robert Galbraith berhak
menyandang gelar sebagai penulis bestseller, karena suksesnya The Cuckoo’s
Calling dan antrian yang cukup panjang saat launching perdananya di Indonesia
sudah cukup membuktikan. Dikarenakan Cormoran berada dalam era yang berbeda dengan
Sherlock Holmes dan Hercules Poirot, saya sangat suka Galbraith mengedepankan
teknologi modern yang ada untuk membantu dalam penyelidikannya, ini membawa
warna baru untuk buku tentang detektif.
Saya pribadi, bagi pembaca yang rindu akan kisah detektif
dan hasil karya dari JK. Rowling lainnya, The Silkworm sangat tepat untuk
mengisi kerinduan tersebut. Bagaimana hasil akhir dan siapa pelakunya, mungkin
akan membuat para pembaca tercengang. So, this is a great books :)
Rating 4.3/5
Comments
Post a Comment